Minggu, 02 September 2018

Sungai Bersih Tanggung Jawab Bersama

Sungai Bersih Tanggung Jawab Bersama


Siang itu, selasa 28 Agustus 2018 beberapa hari yang lalu, saya menuju Kelurahan Pasir Gintung, Kecamatan Tanjung Karang Pusat guna keperluan melihat obyek secara langsung yang akan saya amati.  Melalui Jalan Pulau Pisang tampak terlihat sebuah pemukiman di atas perbukitan. Terlihat padat dan rapat. Saya terus berjalan sembari melihat suasana sekitar dan sampai di sebuah jembatan kecil. Saya berhenti sejenak untuk mengamati sungai kecil yang memisahkan antara letak pasar dengan pemukiman.


Sungai dengan debit air yang kecil karena kemarau, tapi memunculkan aroma yang tak sedap. Karena terlihat di sepanjang badan sungai banyak sampah yang dibuang. Melihat persis di bawah jembatan ada sekarung jengkol busuk. Sepertinya jengkol yang sudah tidak layak jual. Di seberang jembatan mata saya tertuju pada seorang ibu yang sedang membuka jendela rumahnya sedang membawa plastik warna hitam,. Tanpa malu ibu itu membuang bungkusan plastik ke sungai. Begitu pula dengan mamang penjual rujak. Sambil mengiris buah, dia membuat sampahnya ke sungai. Ironi, sungai yang seharusnya menjadi indah menjadi tempat pembuangan sampah.

Permasalahan di pemukiman padat penduduk yang tinggal di bantaran sungai adalah soal sanitasi. Sanitasi dan air  bersih menjadi isu penting dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG #6) dan pemerintah Indonesia sungguh serius dalam mengupayakan sanitasi yang aman melalui Peraturan Presiden No 59/2017, Pemerintah telah berkomitmen untuk mendukung tercapainya tujuan SDGs.

Memiliki Jamban Saja tidak Cukup

Teh nani salah satu penduduk Pasir gintung yang saya temui mengatakan, ‘’untuk kebutuhan air minum mereka membeli air galon isi ulang, yang di dapatkannya di bawah. Istilah mereka ketika ingin turun membeli air. Sedangkan untuk keperluan Mandi Cuci Kakus (MCK) menggunakan air sumur dari salah seorang penduduk yang memiliki sumur bor sendiri, dengan mengalirkan air dengan menggunakan paralon. Perhari mengeluarkan biaya empat ribu rupiah. Sayangnya dirumahnya tidak ada septic tank.’’
Penampung tinja. Rumah yang sempit dan lahan yang sudah tidak ada lagi. Lalu dibuang kemanakah tinjanya? Buangan saluran tinja dialirkan ke sungai. Ini dapat dilihat dari banyaknya paralon yang menjorok ke sungai.
Seperti halnya dengan Ibu Umiyati. Seorang janda berusia 70 tahun yang tinggal di Pasir gintung sejak lahir ini mengatakan aliran kotoran pembuangan atau tinja dialirkan di sungai, yang kebetulan memang dekat dengan rumahnya.

Memiliki jamban saja tidaklah cukup aman. Menurut I Ketut dari SNV memiliki jamsan saja tidaklah cukup. Menurutnya 5 komponen utama untuk sanitasi aman adalah Jamban, penampung Tinja/Tangki Deptik, Penyedotan dan Pengangkutan, Pengolahan Lumpur Tinja dan pembuangan dan pemanfaatan kembali. Jamban merupakan komponen utama sanitasi dasar. Syarat menurut SNI jamban harus dilengkapi dengan pijakan dan leher angsa, serta tertutup yang bersih dan nyaman. Penampung tinja harus kedap seluruhnya sesui SNI No 03-2398-2002. Penyedotan tinja dilakukan setiap maksimal 3 tahun sekali dan diangkut secara aman ke IPLT ( Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja). Tidak hanya sampai disitu, pengolahan tinja juga harus diperhatikan. Pengolahan lumpur tinja diolah secara aman sebelum dibuang dan digunakan kembali.

Berdasarkan informasi dari STBM SMART (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) yang dapat diakses melalui Play Store, saat ini Akses sanitasi Kota Bandar Lampung mencapai 91,32%. Artinya ada sekitar 8,68 % penduduk Kota Bandar Lampung yang masih Buang Air Besar Sembarangan (BABS). Ada sekitar 8 Desa yang masih berperilaku ODF (Open Defecation Free). Berdasarkan data Bapeda Kota Bandar Lampung kelurahan Pasir Gintung termasuk dalam Proyek jangka pendek layanan sanitasi. Seperti misi sanitasi kota Bandar lampung “  Mewujudkan sanitasi Kota yang efektif, berkualitas dan berkelanjutan menuju Kota Bandar Lampung sehat 2020)   

Ubah Sungai Menjadi Halaman Depan Rumah


Saya jadi teringat kondisi sungai di Jepang. Saat ini sungai di Jepang menjadi halaman bagi rumah penduduk di sekitaran sungai, sehingga budaya membuang sampah menjadi terkikis dengan sendirinya. Mungkin kondisi ini bisa menjadi pemikiran Pemda Kota Bandar Lampung. Membuat peraturan daerah agar setiap rumah yang dekat dengan sungai menjadi menghadap ke sungai, tidak sebaliknya yang terjadi saat ini. Dengan sendirinya budaya malu akan mengikis perilaku buang sampah dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir akan berubah. Meskipun tidak mudah, dan butuh dukungan banyak pihak yang komitmen dan fokus pada persoalan sanitasi aman tanggungjawab bersama.

Bagikan

Jangan lewatkan

Sungai Bersih Tanggung Jawab Bersama
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Suka dengan artikel di atas? Tambahkan email Anda untuk berlangganan.

1 komentar:

Tulis komentar
avatar
Anonim
3 Desember 2022 pukul 22.14

The Central Limit Theorem makes it possible to make inferences with very little information about the population, provided we now have a big random pattern. That is why it is central to the field of statistical inference. The reason why the bell shape appears in such settings is a remarkable 메리트카지노 results of probability principle called the Central Limit Theorem. The imply delay was about 16.6 minutes and the SD was about 39.5 minutes.

Reply

Menikmati Pasar Organik di Milas Jogjakarta

Menikmati Pasar Organik di Milas Jogjakarta Kali ini saya akan cerita mengenai Pasar Organik di Milas Jogjakarta. Seperti biasa, ketika...